Tak Semua Singgah Bisa Menjadi Rumah
Cerita ini hanyalah fiksi. Jika ada kesamaan nama orang, nama tempat atau peristiwa, hanyalah ketidak sengajaan.
Aku dan Ezra sudah setengah tahun ini kenal. Mulanya karena Rafa mengenalnya. Lalu Ezra minta kenal ke aku. Ezra seorang pekerja plus mahasiswa. Sudah lima tahun studi, tapi belum menyelesaikan skripsi. Keasikan kerja katanya.
Saat bulan pertama kenal, Ezra tidak menarik perhatianku. Biasa biasa saja sampai kadang pesannya lupa ku balas hingga esok hari nya. Dia juga kadang berkirim pesan, kadang juga tidak. Ya semaunya saja, dan aku juga tidak masalah.
Awal kisahnya, dimulai pada saat bulan ke kedua. Dimana aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ezra. Pesan-pesan singkatnya yang terkadang panjang namun tetap ku baca, atau telfon ditengah malam hanya untuk bercanda. Hingga akhirnya aku ketergantungan membalas pesan-pesannya. Ketergantungan menceritakan hari ku yang kadang suram kadang senang. Semua nya dia tau.
Ezra lucu dan banyak tau. Dan jangan lupakan mulut manisnya yang bisa membuat aku diabetes hanya dengan pemilihan diksinya! Dia adalah tipe orang yang bisa aku ajak ngobrol tentang segala hal. Dari mengapa anak di kampus ku tidak suka berdandan sampai dengan peran asuransi dan saham hipotek yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia menyenangkan.
Pada bulan ke tiga, masing-masing dari kami sudah menyatakan suka. Lucunya, kami gapernah sekalipun jumpa. Namun perasaan sayang ini terasa begitu nyata. Rasa ini hanya tersalurkan melalui pesan-pesan dengan stiker yang berbentuk hati. Kami saling merangkul dalam peluk. Tapi dalam bentuk stiker cony saja. Namun semuanya terasa sangat sempurna dan bahagia.
Saat itu, aku benar-benar penasaran akan sosoknya. Ingin sekali mengajak bertemu tapi aku malu. Ingin melihat 182 cm tubuhnya yang membuat ku harus mendangak jika ingin menatap. Atau bagaimana perutnya yang akhir-akhir ini di keluhkan karena mulai menggunung, tapi olahraga pun enggan. Oh dan aku juga sangat penasaran akan suara aslinya yang biasanya aku dengar lewat telfon. Sesungguhnya, aku sangat menyukai suaranya. Tipikal suara maskulin walaupun nyebelin. Oke mungkin aku terlalu banyak memujinya.
Memasuki bulan ke empat, Sedikit-sedikit Ezra mulai pergi-pergian. Katanya urusan pekerjaan yang sangat menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Oh aku mencoba maklum. Aku juga sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan berlabel mahasiswa. Saat dia ada pekerjaan ke Luar kota, aku juga sedang berada di Jakarta, ikut lomba. Tambah sedikit waktu untuk bercerita. Dia fokus kerja, aku fokus lomba.
Saat-saat itu, aku malah tambah excited saat namanya muncul pertanda pesan itu darinya.
"Hai kamu sedang apa? Bagaimana lombanya? Maaf aku baru sempat balas" Terasa sangat berharga. Merasa senang karena dia masih sempat membalas pesanku di sela waktu yang sangat sempit. Namun entah, minat ku bercerita seakan mulai sirna. Bukan karena merasa tak suka, tapi aku ingin berusaha mengerti dia dan takut terlalu mengganggunya. Yang saat itu diartikannya aku sedang merajuk karena jarang di beri kabar.
Lalu saat sama-sama kembali ke Surabaya, tak ada pertemuan disana. Hanya sebatas pesan singkat yang kadang manis kadang menyebalkan. Terkadang dia datang, terkadang pesan ku diabaikan. Aku jengkel sekali rasanya. Ingin kutemui dia, lalu ku tarik rambut nya yang katanya seperti Mail di serial kartun Upin dan Ipin. Lalu setelah itu aku ingin memeluknya sampai rasa jengkel ini hilang. Aku begitu rindu guyonan nya yang gak jelas. Tidak, sebenarnya aku rindu dia nya. Ini rahasia!
Semua terasa semakin konyol saat memasuki bulan ke lima. Hingga rasa kesal ku memuncak ke ubun-ubun.
"Mari bertemu, aku ingin memastikan apakah kita cocok berteman atau lebih" ucapnya dengan entengnya.
Sumpah demi Tuhan, rasanya ingin ku maki dia hingga tidak ada lagi kata yang tersisa. Setelah pernyataan sayang di bulan-bulan yang lalu namun berikutnya ia malah ingin berteman. Sialan.
Sebetulnya, aku bukan tipe orang yang gila status. Tapi setelah semua ungkapan sayang rasanya keterlaluan jika ia bilang cukup untuk berteman. Keterangan teman yang ia ucapkan sangat mengganggu. Mengusik ego ku yang menganggap ini lebih dari itu.
Lalu setelah itu tidak ada yang berubah. Tidak ada pertemuan yang direncanakan. Tidak ada pertemuan sama sekali. Sedikit-sedikit aku mulai paham. Mulai mengerti bila akhirnya kami memang lebih baik berteman saja. Tak ada kata yang menjelaskan hubungan ini, tapi pemilihan diksi dipesan singkatnya sudah tak lagi sama. Ia benar-benar ingin sebatas berteman.
Memasuki bulan ke enam, semua tampak biasa. Aku masih membalas pesan singkatnya yang tak sepanjang dulu. Kadang-kadang ia datang kemudian hilang. Aku mulai terbiasa walau rasa jengkel kadang datang.
Kemudian tak lama, entah angin mana yang berhembus, tiba-tiba ia ingin kembali mesra. Pesannya seolah penuh cinta. Ia meminta ku untuk tidak pergi. Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak. Aku begitu mau, tapi ini tak akan berlangsung lama, aku tau.
Benar saja. Dipenghujung bulan ke enam, Ia bilang ia berasa tidak enak padaku. Menanyakan apa aku tidak apa jika ia terus datang dan pergi seenaknya. Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti. Mengakhiri rasa lelah ku yang sudah kritis.
Sebenarnya, aku tidak ingin berhenti. Tapi rasanya sangat melelahkan menunggu seseorang yang tidak bisa menjadi pulang. Menyediakan tempat untuk orang yang suka datang lalu menghilang. Aku hanya butuh dia tinggal dan tak pergi. Karena aku begitu menyukai ia disini. Tapi aku pikir, dia saja ragu, kenapa aku harus tetap menunggu. Dan yang menyakitkan, saat aku memutuskan untuk berhenti dan pergi, ia bahkan tidak menahanku dan tidak meminta ku untuk bertahan sekali lagi.
Jadi begini akhir kisahnya. Aku dan Ezra kembali menjadi asing dari yang paling asing. Tidak ku temui lagi pesan singkatnya yang suka membuat ku memerah. Tidak ada lagi dering telfon ku atas namanya. Tapi bagian yang paling menyedihkan adalah; He was never mine, but losing him still broke my heart.
Aku dan Ezra sudah setengah tahun ini kenal. Mulanya karena Rafa mengenalnya. Lalu Ezra minta kenal ke aku. Ezra seorang pekerja plus mahasiswa. Sudah lima tahun studi, tapi belum menyelesaikan skripsi. Keasikan kerja katanya.
Saat bulan pertama kenal, Ezra tidak menarik perhatianku. Biasa biasa saja sampai kadang pesannya lupa ku balas hingga esok hari nya. Dia juga kadang berkirim pesan, kadang juga tidak. Ya semaunya saja, dan aku juga tidak masalah.
Awal kisahnya, dimulai pada saat bulan ke kedua. Dimana aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ezra. Pesan-pesan singkatnya yang terkadang panjang namun tetap ku baca, atau telfon ditengah malam hanya untuk bercanda. Hingga akhirnya aku ketergantungan membalas pesan-pesannya. Ketergantungan menceritakan hari ku yang kadang suram kadang senang. Semua nya dia tau.
Ezra lucu dan banyak tau. Dan jangan lupakan mulut manisnya yang bisa membuat aku diabetes hanya dengan pemilihan diksinya! Dia adalah tipe orang yang bisa aku ajak ngobrol tentang segala hal. Dari mengapa anak di kampus ku tidak suka berdandan sampai dengan peran asuransi dan saham hipotek yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia menyenangkan.
Pada bulan ke tiga, masing-masing dari kami sudah menyatakan suka. Lucunya, kami gapernah sekalipun jumpa. Namun perasaan sayang ini terasa begitu nyata. Rasa ini hanya tersalurkan melalui pesan-pesan dengan stiker yang berbentuk hati. Kami saling merangkul dalam peluk. Tapi dalam bentuk stiker cony saja. Namun semuanya terasa sangat sempurna dan bahagia.
Saat itu, aku benar-benar penasaran akan sosoknya. Ingin sekali mengajak bertemu tapi aku malu. Ingin melihat 182 cm tubuhnya yang membuat ku harus mendangak jika ingin menatap. Atau bagaimana perutnya yang akhir-akhir ini di keluhkan karena mulai menggunung, tapi olahraga pun enggan. Oh dan aku juga sangat penasaran akan suara aslinya yang biasanya aku dengar lewat telfon. Sesungguhnya, aku sangat menyukai suaranya. Tipikal suara maskulin walaupun nyebelin. Oke mungkin aku terlalu banyak memujinya.
Memasuki bulan ke empat, Sedikit-sedikit Ezra mulai pergi-pergian. Katanya urusan pekerjaan yang sangat menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Oh aku mencoba maklum. Aku juga sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan berlabel mahasiswa. Saat dia ada pekerjaan ke Luar kota, aku juga sedang berada di Jakarta, ikut lomba. Tambah sedikit waktu untuk bercerita. Dia fokus kerja, aku fokus lomba.
Saat-saat itu, aku malah tambah excited saat namanya muncul pertanda pesan itu darinya.
"Hai kamu sedang apa? Bagaimana lombanya? Maaf aku baru sempat balas" Terasa sangat berharga. Merasa senang karena dia masih sempat membalas pesanku di sela waktu yang sangat sempit. Namun entah, minat ku bercerita seakan mulai sirna. Bukan karena merasa tak suka, tapi aku ingin berusaha mengerti dia dan takut terlalu mengganggunya. Yang saat itu diartikannya aku sedang merajuk karena jarang di beri kabar.
Lalu saat sama-sama kembali ke Surabaya, tak ada pertemuan disana. Hanya sebatas pesan singkat yang kadang manis kadang menyebalkan. Terkadang dia datang, terkadang pesan ku diabaikan. Aku jengkel sekali rasanya. Ingin kutemui dia, lalu ku tarik rambut nya yang katanya seperti Mail di serial kartun Upin dan Ipin. Lalu setelah itu aku ingin memeluknya sampai rasa jengkel ini hilang. Aku begitu rindu guyonan nya yang gak jelas. Tidak, sebenarnya aku rindu dia nya. Ini rahasia!
Semua terasa semakin konyol saat memasuki bulan ke lima. Hingga rasa kesal ku memuncak ke ubun-ubun.
"Mari bertemu, aku ingin memastikan apakah kita cocok berteman atau lebih" ucapnya dengan entengnya.
Sumpah demi Tuhan, rasanya ingin ku maki dia hingga tidak ada lagi kata yang tersisa. Setelah pernyataan sayang di bulan-bulan yang lalu namun berikutnya ia malah ingin berteman. Sialan.
Sebetulnya, aku bukan tipe orang yang gila status. Tapi setelah semua ungkapan sayang rasanya keterlaluan jika ia bilang cukup untuk berteman. Keterangan teman yang ia ucapkan sangat mengganggu. Mengusik ego ku yang menganggap ini lebih dari itu.
Lalu setelah itu tidak ada yang berubah. Tidak ada pertemuan yang direncanakan. Tidak ada pertemuan sama sekali. Sedikit-sedikit aku mulai paham. Mulai mengerti bila akhirnya kami memang lebih baik berteman saja. Tak ada kata yang menjelaskan hubungan ini, tapi pemilihan diksi dipesan singkatnya sudah tak lagi sama. Ia benar-benar ingin sebatas berteman.
Memasuki bulan ke enam, semua tampak biasa. Aku masih membalas pesan singkatnya yang tak sepanjang dulu. Kadang-kadang ia datang kemudian hilang. Aku mulai terbiasa walau rasa jengkel kadang datang.
Kemudian tak lama, entah angin mana yang berhembus, tiba-tiba ia ingin kembali mesra. Pesannya seolah penuh cinta. Ia meminta ku untuk tidak pergi. Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak. Aku begitu mau, tapi ini tak akan berlangsung lama, aku tau.
Benar saja. Dipenghujung bulan ke enam, Ia bilang ia berasa tidak enak padaku. Menanyakan apa aku tidak apa jika ia terus datang dan pergi seenaknya. Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti. Mengakhiri rasa lelah ku yang sudah kritis.
Sebenarnya, aku tidak ingin berhenti. Tapi rasanya sangat melelahkan menunggu seseorang yang tidak bisa menjadi pulang. Menyediakan tempat untuk orang yang suka datang lalu menghilang. Aku hanya butuh dia tinggal dan tak pergi. Karena aku begitu menyukai ia disini. Tapi aku pikir, dia saja ragu, kenapa aku harus tetap menunggu. Dan yang menyakitkan, saat aku memutuskan untuk berhenti dan pergi, ia bahkan tidak menahanku dan tidak meminta ku untuk bertahan sekali lagi.
Jadi begini akhir kisahnya. Aku dan Ezra kembali menjadi asing dari yang paling asing. Tidak ku temui lagi pesan singkatnya yang suka membuat ku memerah. Tidak ada lagi dering telfon ku atas namanya. Tapi bagian yang paling menyedihkan adalah; He was never mine, but losing him still broke my heart.
Komentar
Posting Komentar